Sabtu, November 07, 2009

Dahulu Hutan Rawa, Kini Kota Pemukiman

JAKARTA, MP - Kondisi daerah memang sering mengilhami nama daerah. Itu pula yang terjadi di Jakarta. Mungkin banyak orang tak menyangka kalau Jakarta pada zaman pemerintahan kolonial Belanda berupa rawa atau semak belukar. Kondisi itu pula yang pada akhirnya memunculkan nama Rawasari, Rawabelong, Rawamangun, Kebonkosong, Kebonsirih, ataupun Utanpanjang.

Nama-nama itu mewakili kondisi kota Jakarta pada masa pemeritahan kolonial Belanda. Hal ini ternyata bukan hanya cerita, namun memang demikian adanya. Beberapa nama daerah yang menggunakan nama rawa, utan atau kebon, menjadi bukti bahwa kondisi kota Jakarta waktu itu adalah semak dan hutan belantara.

Sebelum abad ke-16, kawasan timur Batavia memang belum terjamah. Kawasan tersebut masih berupa hamparan semak belukar dan hutan belantara. Sedangkan pemerintahan kolonial Belanda semasa kedudukan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon (JP) Coen pada tahun 1619, lebih memfokuskan diri membangun pusat kota di Kota Tua, Jakarta Barat.

Barulah saat Deandles berkuasa, pada tahun 1809, pembangunan mulai berjalan hingga ke selatan pusat kota Batavia. Daerah yang semula hutan belantara pun dibabat dijadikan jalan raya dan pemukiman. Adalah tuan tanah Antony Palvijoen. Dia merupakan korban pertama waktu itu yang tanahnya dimanfaatkan sebagai jalan. Tanahnya waktu itu merupakan kebun gambir dan sirih yang kemudian diubah menjadi kawasan kota Weltevreden.

Seperti hanya Rawasari dan Rawamangun, dua daerah yang kini masuk wilayah Kotamadya Jakarta Timur dan Jakarta Pusat ini, dulu berupa rawa-rawa. Masuknya warga perantauan dari luar kota Jakarta pada awal abad ke-19, menjadikan wilayah ini sebagai pemukiman padat penduduk.

Rawasari semula bernama Beek Meester Kampung Ambon. Namun, nama itu tak dipakai karena Ambon saat itu tidak disenangi masyarakat lantaran penduduknya mayoritas berasal dari Jawa. Penolakan itu melahirkan nama Kampung Jawa. "Kata orangtua, nama Rawasari dulunya adalah Kampung Jawa," jelas H Solihin, tokoh masyarakat Rawasari kepada beritajakarta.com, Jumat (6/11).

Solihin menjelaskan, dulu kawasan Rawasari, sebelum ada permukiman, merupakan rawa yang banyak ditumbuhi pohon mangun. Barulah pada awal abad ke-19 daerah ini mulai difungsikan menjadi empat daerah yang masing-masing dikuasai oleh mandor. Mandor tersebut bertanggungjawab kepada Belanda atas tanah garapannya. "Ada yang bercocok tanam, atau mengembala hewan ternak," jelasnya. .

Empat bagian yang dimaksud H Solihin adalah Rawasari, Kampung Rawa dan Kampung Mangun, masuk wilayah mandor Salim. Sedangkan Rawa Kerbau, Sumur Batu, Pendongkelan serta Cempaka Putih masuk kekuasaan mandor Tugiman. Mandor Baan bertanggungjawab atas daerah Kampung Ambon, Tanah Tinggi, dan Kayu Putih. Sementara itu, Kawi-kawi dan Utan Kayu diawasi oleh mandor Ilyas.

Hal serupa terjadi di kawasan Rawabadak, Jakarta Utara. Menurut Supardi, salah seorang tokoh masyarakat Rawabadak, sejarah nama Rawabadak berasal dari adanya sebuah rawa-rawa yang luas di sisi paling timur kota Batavia. Kedatangan orang sunda ke daerah tersebut menjadikan daerah itu bernama Rawabadak yang berarti rawa yang sangat luas.

Sejarah serupa mungkin dialami oleh Kampung Rawa di Jakarta, dan mengilhami terciptanya sebuah nama, seperti Rawaterate, Rawabelong, Kebonkacang, Pondokbambu, atau daerah lainnya. Meski dulu kawasan-kawasan tersebut berupa hutan belantara atau rawa-rawa, kini menjadi daerah yang ramai dan menjadi pemukiman padat penduduk.

Sedangkan daerah Weltevreden, kini berubah menjadi pusat kota dan pemerintahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Gambir dan Kelurahan Kebonsirih, Menteng, Jakarta Pusat. Gedung pencakar langit dan kantor Gubernur DKI serta Istana Presiden berada di kawasan sentra tersebut. (red/*bj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails